Undang Undang Perceraian Terbaru dalam Hukum Islam

July 24, 2025
July 24, 2025
Alpha

Hukum Perceraian dalam Islam di Indonesia: Tinjauan Komprehensif

Perceraian dalam hukum Islam di Indonesia diatur secara spesifik dan memiliki prosedur serta dasar hukum yang jelas. Meskipun menjadi solusi terakhir dalam rumah tangga, Islam mengizinkan perceraian jika upaya mempertahankan ikatan perkawinan telah menemui jalan buntu. Artikel ini akan mengulas dasar hukum, alasan, serta prosedur perceraian menurut hukum Islam di Indonesia, dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dasar Hukum Perceraian dalam Islam di Indonesia

Di Indonesia, perceraian bagi umat Muslim secara hukum merujuk pada dua peraturan utama:

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974).
  • Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

KHI merupakan pedoman hukum materiil bagi peradilan agama dalam menyelesaikan perkara perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.

Pengertian Perceraian Menurut Hukum Positif

Menurut UU No. 1 Tahun 1974, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Hal ini ditegaskan dalam:

Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak."

Lebih lanjut, dalam KHI, perceraian didefinisikan sebagai ikrar talak dari suami atau gugatan perceraian yang diajukan istri yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama.

Alasan-Alasan Perceraian Menurut Hukum Islam

Perceraian tidak dapat dilakukan sembarangan, melainkan harus didasarkan pada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum. Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur alasan-alasan yang dapat menjadi dasar perceraian dalam Pasal 116 KHI, yaitu:

Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam: "Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. suami melanggar taklik talak; h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga."

Selain itu, hukum juga membedakan jenis perceraian berdasarkan siapa yang mengajukan:

  1. Cerai Talak: Diajukan oleh suami kepada Pengadilan Agama, yang kemudian akan menjatuhkan ikrar talak. Ini diatur dalam Pasal 14 KHI:

    "Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian."

  2. Cerai Gugat: Diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama.

Prosedur Perceraian

Proses perceraian diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, serta diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Prosedur umum perceraian di Pengadilan Agama meliputi:

  1. Pendaftaran Permohonan/Gugatan: Suami mengajukan permohonan cerai talak, sedangkan istri mengajukan gugatan cerai.
  2. Sidang Mediasi: Hakim wajib mengupayakan perdamaian antara kedua belah pihak melalui mediasi. Jika mediasi berhasil, perkawinan dapat dipertahankan. Jika tidak, proses berlanjut ke persidangan.
  3. Persidangan: Dilakukan pembuktian alasan-alasan perceraian dengan menghadirkan saksi-saksi dan bukti lainnya.
  4. Putusan Pengadilan: Pengadilan akan menjatuhkan putusan, baik mengabulkan atau menolak permohonan/gugatan perceraian.
  5. Ikrar Talak (untuk cerai talak): Jika permohonan cerai talak dikabulkan, suami wajib mengucapkan ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama.
  6. Penerbitan Akta Cerai: Setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan/atau ikrar talak diucapkan, Pengadilan Agama akan menerbitkan akta cerai.

Hak dan Kewajiban Pasca-Perceraian

Pasca-perceraian, terdapat beberapa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh mantan suami dan istri, antara lain:

  • Iddah: Masa tunggu bagi istri setelah perceraian sebelum dapat menikah lagi, untuk memastikan tidak adanya kehamilan dan memberi kesempatan rujuk. Masa iddah diatur dalam Pasal 153 ayat (2) KHI:

    "Jangka waktu tunggu bagi janda diceraikan suaminya adalah 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari bagi wanita yang haid dan 90 (sembilan puluh) hari bagi wanita yang tidak haid, atau sampai melahirkan bagi wanita yang dalam keadaan hamil."

  • Nafkah Iddah dan Nafkah Mut'ah: Suami wajib memberikan nafkah iddah dan mut'ah kepada mantan istrinya, kecuali jika perceraian terjadi karena nusyuz (kedurhakaan) istri. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 149 KHI:

    "Bekas suami wajib memberikan nafkah mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut nusyuz."

  • Hak Asuh Anak (Hadhanah): Mengenai hak asuh anak, KHI pada umumnya memberikan hak hadhanah kepada ibu, terutama untuk anak di bawah umur 12 tahun, selama sang ibu memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 105 KHI:

    "Dalam hal terjadinya perceraian: a. Anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya; b. Anak yang sudah berusia 12 tahun ke atas diserahkan kepada anak itu sendiri untuk memilih siapa yang mengasuhnya."

  • Harta Bersama (Gono-gini): Pembagian harta bersama diatur berdasarkan prinsip syara' dan keadilan, serta dapat diselesaikan melalui Pengadilan Agama jika tidak ada kesepakatan.

Kesimpulan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam adalah pilar utama dalam pengaturan perceraian bagi umat Muslim di Indonesia. Proses perceraian harus dilakukan melalui Pengadilan Agama dengan alasan-alasan yang sah, seperti yang tercantum dalam KHI. Pemahaman yang komprehensif mengenai dasar hukum, prosedur, serta hak dan kewajiban pasca-perceraian sangat penting bagi setiap pihak yang terlibat untuk memastikan terpenuhinya keadilan dan perlindungan hukum.


SUMBER:

  • Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  • Peraturan Perundang-undangan: Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam