Perjanjian pra nikah, atau yang dalam istilah hukum disebut perjanjian perkawinan, telah menjadi topik yang semakin relevan dalam dinamika perkawinan di Indonesia. Meskipun sering dianggap tabu oleh sebagian masyarakat, perjanjian ini menawarkan kerangka hukum yang jelas bagi pasangan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan berumah tangga, terutama terkait dengan harta benda dan kewajiban finansial. Artikel ini akan mengulas dasar hukum, syarat, prosedur, serta manfaat krusial dari perjanjian pra nikah.
Perjanjian perkawinan secara fundamental diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan"), khususnya Pasal 29 ayat (1). Awalnya, pasal ini menafsirkan perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan (prenuptial agreement). Namun, interpretasi ini diperluas setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Berdasarkan Putusan MK tersebut, bunyi Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan menjadi:
"Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut."
Perluasan makna ini memungkinkan perjanjian perkawinan tidak hanya dibuat sebelum pernikahan (prenuptial agreement) tetapi juga selama ikatan perkawinan berlangsung (postnuptial agreement) (Justika.com - "Perjanjian Pranikah Dari Mulai Syarat Membuat Hingga Contohnya").
Selain itu, sebagai sebuah perjanjian, perjanjian perkawinan juga tunduk pada prinsip-prinsip umum perikatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 1320 KUHPerdata mengatur empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
Penting untuk dicatat bahwa perjanjian perkawinan harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris agar isinya dapat berlaku juga terhadap pihak ketiga. Pendaftaran ini memberikan unsur publisitas, sehingga pihak ketiga mengetahui dan tunduk pada aturan dalam perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh pasangan (Hukumonline.com - "Ketentuan Perjanjian Kawin").
Meskipun sering disalahpahami sebagai tanda ketidakpercayaan, perjanjian pra nikah memiliki berbagai manfaat praktis yang dapat melindungi kedua belah pihak dan keluarga di masa depan. Beberapa manfaat utama antara lain:
Perjanjian pra nikah memungkinkan pasangan untuk secara jelas memisahkan harta bawaan masing-masing sebelum pernikahan dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan. Hal ini dapat mencegah masalah finansial yang seringkali menjadi pemicu keretakan rumah tangga (Justika.com - "Perjanjian Pranikah Dari Mulai Syarat Membuat Hingga Contohnya"). Moch. Isnaeni dalam "Hukum Perkawinan Indonesia" menjelaskan bahwa perjanjian ini dibuat untuk melindungi harta benda secara hukum, baik harta bawaan masing-masing pihak ataupun harta bersama (Hukumonline.com - "Ketentuan Perjanjian Kawin").
Perjanjian ini memberikan penegasan terhadap hak-hak dan kewajiban masing-masing pasangan, yang berguna untuk mencegah kesalahpahaman dalam berumah tangga. Suami dan istri tetap memiliki batasan haknya masing-masing.
Dengan adanya pemisahan harta, perjanjian pra nikah memberikan perlindungan ganda untuk harta dan aset pribadi, memastikan harta pribadi tidak tercampur dengan harta bersama. Hal ini juga dapat menguntungkan ahli waris dalam mengetahui batasan-batasan perihal waris.
Bagi pasangan yang memiliki usaha atau bisnis masing-masing, perjanjian pra nikah dapat menjamin hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Dengan perjanjian ini, pasangan dapat leluasa menjalankan bisnis tanpa intervensi yang tidak diinginkan dari harta bersama.
Menurut Pasal 121 KUHPerdata, utang termasuk dalam golongan harta bersama. Namun, ketentuan ini dapat dikesampingkan jika ada perjanjian pra nikah yang menyatakan pemisahan utang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan (Justika.com - "Perjanjian Pranikah Dari Mulai Syarat Membuat Hingga Contohnya"). Ini penting untuk melindungi kondisi finansial rumah tangga dari beban utang pribadi salah satu pihak.
Secara implisit, Pasal 29 UU Perkawinan mengatur beberapa syarat untuk membuat perjanjian pra nikah:
Prosedur umum pembuatan perjanjian pra nikah adalah sebagai berikut:
Dokumen yang dibutuhkan meliputi fotokopi KTP dan KK calon pasangan, fotokopi salinan akta notaris yang telah dilegalisir, dan paspor (jika ada pasangan WNA). Bagi pasangan yang membuat perjanjian setelah menikah (postnuptial agreement), wajib melampirkan buku nikah.
Mengenai perubahan perjanjian perkawinan, Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan jo. Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 mengatur bahwa:
"Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga."
Ketentuan ini menegaskan bahwa pada dasarnya perjanjian perkawinan bersifat tetap. Namun, perubahan atau pencabutan dimungkinkan jika ada persetujuan dari kedua belah pihak dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga (Hukumonline.com - "Ketentuan Perjanjian Kawin").
Perjanjian pra nikah adalah instrumen hukum yang sah dan memiliki banyak manfaat dalam melindungi kepentingan finansial dan non-finansial pasangan dalam perkawinan. Diatur dalam UU Perkawinan dan diperluas maknanya oleh Putusan Mahkamah Konstitusi, perjanjian ini memberikan kejelasan mengenai hak dan kewajiban suami istri, terutama terkait harta benda dan utang. Pembuatannya memerlukan persetujuan kedua belah pihak, pengesahan notaris, dan pencatatan oleh instansi berwenang agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak dan pihak ketiga. Memahami seluk-beluk perjanjian ini penting bagi pasangan yang ingin membangun rumah tangga dengan dasar hukum yang kuat dan transparan.
SUMBER: