Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Tindakan ini bertujuan untuk melindungi kehormatan dan reputasi seseorang dari tuduhan atau perbuatan yang merusak citra di mata umum. Artikel ini akan mengulas definisi, dasar hukum, jenis-jenis perbuatan yang termasuk pencemaran nama baik, serta ancaman hukuman pidana yang dapat dikenakan.
Pencemaran nama baik dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah defamation. Menurut The Law Dictionary, defamation adalah perbuatan yang merusak atau membahayakan reputasi seseorang dengan pernyataan palsu dan jahat. Ahli hukum Oemar Seno Adji mendefinisikan pencemaran nama baik sebagai suatu tindakan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang (aanranding of goede naam), termasuk pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis dengan menuduhkan sesuatu hal.
Definisi ini selaras dengan pengaturan dalam KUHP lama dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2022 atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("UU 1/2023") yang akan berlaku 3 tahun sejak diundangkan (yaitu pada tahun 2026).
Pengaturan mengenai pencemaran nama baik utamanya terdapat dalam KUHP lama, khususnya Pasal 310, 311, 315, 317, dan 318. UU 1/2023 juga memuat pengaturan serupa dalam Pasal 433, 434, 436, 437, dan 438.
Pasal 310 KUHP mengatur tentang pencemaran nama baik secara lisan dan tertulis. Namun, Pasal 310 ayat (1) KUHP telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 310 ayat (1) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "dengan cara lisan".
Pasca Putusan MK tersebut, bunyi Pasal 310 KUHP (lama) adalah sebagai berikut:
Pasal 310 KUHP
- Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta;
- Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta;
- Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Nilai denda dalam KUHP lama telah disesuaikan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, di mana denda dilipatgandakan 1.000 kali. Oleh karena itu, denda Rp4.500 menjadi Rp4.500.000.
Pengaturan serupa juga terdapat dalam UU 1/2023 (KUHP baru), yang akan menggantikan KUHP lama:
Pasal 433 UU 1/2023
- Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta;
- Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta;
- Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.
Berdasarkan penjelasan Pasal 433 ayat (1) UU 1/2023, perbuatan pencemaran adalah penghinaan yang dilakukan dengan cara menuduh (lisan, tulisan, atau gambar) yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang sehingga merugikannya.
KUHP (lama) dan UU 1/2023 (KUHP baru) membagi beberapa jenis tindak pidana penghinaan, yang masing-masing memiliki ancaman pidana:
Penting untuk dicatat bahwa tindak pidana pencemaran nama baik, baik dalam Pasal 310 KUHP maupun Pasal 433 UU 1/2023, merupakan delik aduan. Ini berarti tindak pidana tersebut tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari korban.
Ancaman pidana untuk pencemaran nama baik dapat diperberat jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah.
Dalam konteks tuduhan pencemaran nama baik, khususnya yang berkaitan dengan tuduhan melakukan suatu tindak pidana tanpa bukti, prinsip asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sangat relevan. Asas ini diatur dalam:
"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap."
"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
Artinya, seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah atas tuduhan apapun, termasuk pencurian, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan dia bersalah. Tuduhan yang disebarkan tanpa dasar hukum yang kuat dapat berpotensi memenuhi unsur pencemaran nama baik.
Pencemaran nama baik adalah tindak pidana yang menyerang kehormatan dan reputasi seseorang, diatur secara komprehensif dalam KUHP lama dan UU 1/2023 (KUHP baru). Berbagai bentuk perbuatan penghinaan memiliki karakteristik dan ancaman pidana yang berbeda, mulai dari penistaan lisan, tertulis, fitnah, hingga penghinaan ringan. Penting untuk diingat bahwa sebagian besar kasus pencemaran nama baik adalah delik aduan dan harus didasarkan pada bukti yang kuat, sejalan dengan asas praduga tak bersalah. Pemahaman mengenai ketentuan-ketentuan ini krusial untuk melindungi hak-hak individu dan menjaga ketertiban hukum di masyarakat.
SUMBER: