Pemalsuan Data: Hukuman dan Konsekuensi Hukum di Indonesia

July 24, 2025
July 24, 2025
Alpha

Pemalsuan Data: Hukuman dan Konsekuensi Hukum di Indonesia

Pemalsuan data merupakan tindakan melawan hukum yang semakin relevan di era digital saat ini. Tindakan ini tidak hanya terbatas pada pemalsuan identitas diri, tetapi juga meliputi manipulasi informasi atau dokumen elektronik yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Artikel ini akan mengulas dasar hukum, jenis-jenis hukuman, dan konsekuensi hukum yang dapat dikenakan bagi pelaku pemalsuan data di Indonesia, baik berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Dasar Hukum Pemalsuan Data Menurut KUHP

KUHP mengatur berbagai bentuk pemalsuan yang dapat dikategorikan sebagai pemalsuan data, tergantung pada konteks dan tujuan pemalsuan tersebut. Hukumonline.com menjelaskan beberapa pasal relevan yang menjerat pelaku pemalsuan identitas (yang merupakan bagian dari pemalsuan data) (Hukumonline.com - "Jerat Hukum Pemalsuan Identitas Menurut KUHP dan UU PDP"):

1. Pemalsuan Identitas dalam Penipuan

Apabila pemalsuan nama atau identitas digunakan untuk tujuan penipuan, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP. Pasal ini menguraikan tindak pidana penipuan yang melibatkan penggunaan nama palsu atau martabat palsu:

"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."

Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, yang dimaksud dengan "nama palsu" adalah nama yang bukan namanya sendiri (hal. 261).

2. Pemalsuan Akta Otentik

Jika pemalsuan identitas atau data dituangkan pada sebuah akta otentik, pelaku dapat diancam dengan Pasal 264 KUHP, yang mengatur tentang pemalsuan terhadap akta otentik:

"Pemalsuan terhadap akta otentik diancam pidana penjara paling lama 8 tahun."

Ancaman pidana yang sama juga berlaku jika pelaku dengan sengaja memakai surat atau akta otentik yang telah dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, serta menimbulkan kerugian.

3. Pemalsuan Surat Izin Masuk/Tinggal Orang Asing

Pemalsuan nama atau data yang berkaitan dengan pemberian izin kepada orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia dapat dijerat Pasal 270 KUHP. Pasal ini berbunyi:

"Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan pas jalan atau surat penggantinya, kartu keamanan, surat perintah jalan atau surat yang diberikan menurut ketentuan undang-undang tentang pemberian izin kepada orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia, ataupun barang siapa menyuruh beri surat serupa itu atas nama palsu atau nama kecil yang palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah sejati dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan."

Sanksi pidana yang sama juga dikenakan bagi mereka yang dengan sengaja memakai surat yang tidak benar atau dipalsukan tersebut seolah-olah benar.

Hukuman Pemalsuan Data Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)

Selain KUHP, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) secara khusus mengatur tentang tindak pidana terkait data pribadi, termasuk pemalsuan data. UU PDP mengenakan sanksi yang lebih berat dalam konteks ini:

1. Memperoleh atau Mengumpulkan Data Pribadi Secara Melawan Hukum

Menurut Pasal 67 ayat (1) UU PDP, setiap orang yang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi, dipidana:

"...dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."

2. Mengungkapkan Data Pribadi Secara Melawan Hukum

Pasal 67 ayat (2) UU PDP juga mengatur tentang pengungkapan data pribadi secara melawan hukum:

"Setiap Orang yang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."

3. Menggunakan Data Pribadi Secara Melawan Hukum

Penggunaan data pribadi yang bukan milik pelaku juga diatur dalam Pasal 67 ayat (3) UU PDP:

"Setiap Orang yang secara melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."

4. Membuat atau Memalsukan Data Pribadi

Secara lebih spesifik mengenai pemalsuan data, Pasal 68 UU PDP mengatur ancaman pidana bagi pelaku yang dengan sengaja membuat atau memalsukan data pribadi:

"Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan Data Pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)."

Selain pidana penjara dan/atau denda, pelaku juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana dan pembayaran ganti kerugian (Pasal 69 UU PDP). Jika tindak pidana ini dilakukan oleh korporasi, pidana denda dapat mencapai 10 kali dari maksimal denda yang ditentukan (Pasal 70 ayat (3) UU PDP), serta pidana tambahan lainnya seperti pembekuan usaha atau pencabutan izin.

Konsekuensi Hukum Lainnya

Selain sanksi pidana yang diatur dalam KUHP dan UU PDP, pemalsuan data juga dapat menimbulkan konsekuensi hukum dalam peraturan perundang-undangan lain yang lebih spesifik, terutama dalam konteks administrasi atau perdata. Misalnya, dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 7 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Katup dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, Kosmetik Dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, disebutkan bahwa apabila data/dokumen yang disampaikan tidak benar dan ada pemalsuan, pelaku bersedia dikenakan sanksi administrasi, perdata, dan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa pemalsuan data dapat memiliki implikasi hukum yang berlapis di berbagai sektor.

Contoh Kasus

Sebagai ilustrasi, Hukumonline.com merangkum contoh kasus pemalsuan data yang telah diputus melalui Putusan PN Pati No. 175/Pid.B/2016/PN.Pti. Dalam kasus ini, terdakwa memperoleh buku nikah pada tahun 2013 yang memuat data tidak benar, seperti status terdakwa yang menyatakan sudah duda padahal masih beristri, dan alamat palsu. Tujuan terdakwa adalah agar tetangganya yakin bahwa ia telah menikah dengan saksi, sehingga ia dapat meninggalkan dan tidak memberi nafkah pada istri sahnya untuk tinggal bersama saksi berdasarkan surat nikah palsu tersebut. Tindakan ini merugikan hak istri sah terdakwa.

Pada amar putusan, terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mempergunakan akta otentik palsu berdasarkan Pasal 264 ayat (2) KUHP, dan dijatuhi pidana penjara selama 7 bulan (hal. 15).

Kasus ini menegaskan bahwa penggunaan data palsu dalam dokumen resmi, seperti buku nikah, memiliki konsekuensi pidana yang jelas.

Kesimpulan

Pemalsuan data merupakan tindak pidana serius dengan konsekuensi hukum yang beragam di Indonesia. Hukuman yang dapat dikenakan sangat bergantung pada konteks, tujuan, dan jenis data yang dipalsukan. KUHP memberikan dasar hukum untuk pemalsuan dalam konteks penipuan, akta otentik, dan dokumen keimigrasian, dengan ancaman pidana penjara. Sementara itu, UU PDP memberikan perlindungan lebih spesifik terhadap data pribadi dan menjerat pelaku pemalsuan data pribadi dengan sanksi pidana penjara dan denda yang lebih besar, serta pidana tambahan. Selain itu, pemalsuan data juga dapat memiliki implikasi administrasi dan perdata sesuai dengan peraturan sektoral yang berlaku. Penting bagi masyarakat untuk memahami jerat hukum ini demi mencegah dan menghindari keterlibatan dalam tindakan pemalsuan data.


SUMBER:

  • Hukumonline.com - "Jerat Hukum Pemalsuan Identitas Menurut KUHP dan UU PDP". Diakses dari [hukumonline]
  • Peraturan Perundang-undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  • Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi
  • Peraturan Perundang-undangan: Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 7 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Katup
  • Peraturan Perundang-undangan: Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, Kosmetik Dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
  • Putusan: Putusan Pengadilan Negeri Pati Nomor 175/Pid.B/2016/PN.Pti
  • R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor, 1991.