Hukum Warisan Rumah dalam Islam: Pembagian Harta Bersama

July 24, 2025
July 24, 2025
Alpha

Hukum Warisan Rumah dalam Islam: Pembagian Harta Bersama

Hukum warisan dalam Islam merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan berkeluarga, khususnya ketika membahas pembagian aset, termasuk rumah. Di Indonesia, hukum warisan Islam diatur melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengakomodasi prinsip-prinsip syariah dengan konteks hukum positif. Salah satu isu yang sering muncul adalah bagaimana kedudukan harta bersama (gono-gini) dalam proses pewarisan, terutama jika harta tersebut berupa rumah. Artikel ini akan mengulas konsep warisan dalam Islam, kedudukan harta bersama, serta implikasinya dalam pembagian rumah sebagai objek warisan.

Konsep Warisan dalam Islam dan Kompilasi Hukum Islam

Dalam Islam, warisan didefinisikan sebagai harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris, baik berupa aset maupun hutang. Ahli waris adalah orang yang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang oleh hukum untuk menjadi pewaris. Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara spesifik mengatur golongan ahli waris dalam Pasal 174 KHI:

"1. Golongan ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah:

  1. golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
  2. Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek. b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
  1. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda."

(Justika.com - "Macam-Macam Pembagian Ahli Waris Sesuai Hukum")

Ini menunjukkan hierarki ahli waris yang diakui dalam hukum Islam di Indonesia.

Harta Bersama dalam Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Konsep harta bersama atau harta gono-gini adalah aspek krusial dalam pembagian warisan, terutama jika objek warisan adalah rumah yang diperoleh selama pernikahan. Dalam fikih Islam klasik, harta bersama tidak dikenal; harta akan dipandang berdasarkan siapa pemiliknya. Namun, Hukum Islam positif di Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengakui adanya harta bersama.

Menurut Hukumonline.com, pengakuan harta bersama di Indonesia didasari pandangan bahwa perkawinan adalah bentuk syirkah (persekutuan) untuk membentuk rumah tangga. Oleh karena itu, harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama.

"Terkait harta bersama dalam Islam, perlu diketahui bahwa dalam fikih Islam klasik tidak dikenal harta bersama, bahkan jika terjadi perceraian, maka harus dilihat siapa pemilik hartanya. Lebih lanjut, hal ini berbeda dengan fikih yang berlaku di Indonesia, yang dikenal dengan hukum Islam hasil ijtihad bangsa Indonesia, yaitu UU Perkawinan dan perubahannya serta KHI. Dalam dua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ini dikenal adanya harta bersama."

(Hukumonline.com - "Mengenal Harta Bersama dalam Islam")

Pasal 35 UU Perkawinan membedakan harta dalam perkawinan menjadi:

  1. Harta yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi "harta bersama".
  2. Harta bawaan masing-masing suami istri, baik yang diperoleh sebelum menikah atau dalam pernikahan sebagai harta pribadi (misalnya, hadiah atau warisan).

Lebih lanjut, dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 KHI, harta perkawinan dapat dibagi atas:

  1. Harta bawaan suami (sebelum perkawinan).
  2. Harta bawaan istri (sebelum perkawinan).
  3. Harta bersama suami istri (diperoleh selama perkawinan).
  4. Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan sedekah suami.
  5. Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan sedekah istri.

(Hukumonline.com - "Mengenal Harta Bersama dalam Islam")

Ini berarti, jika sebuah rumah diperoleh selama masa perkawinan, rumah tersebut termasuk dalam kategori harta bersama. Sebelum dilakukan pembagian warisan atas rumah tersebut, terlebih dahulu harus dilakukan pembagian harta bersama antara suami dan istri. Jika pewaris adalah suami, maka setengah bagian dari rumah tersebut adalah hak istri sebagai bagian dari harta bersama, dan setengahnya lagi adalah harta peninggalan suami yang akan diwariskan kepada ahli warisnya. Demikian pula sebaliknya jika pewaris adalah istri.

Hal-Hal yang Menghalangi Hak Waris

Meskipun seseorang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, ada kondisi tertentu yang dapat menghalangi haknya untuk menerima warisan. Justika.com, mengutip KHI, menjelaskan dua hal utama yang dapat menjadi penghalang warisan (al-hujub) berdasarkan Pasal 173 KHI:

"Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat."

(Justika.com - "Macam-Macam Pembagian Ahli Waris Sesuai Hukum")

Ini menegaskan bahwa tindakan pidana serius terhadap pewaris dapat menghilangkan hak waris pelaku.

Tata Cara Pembagian Warisan (Khusus Rumah sebagai Harta Bersama)

Dalam konteks warisan rumah yang merupakan harta bersama, langkah pembagiannya adalah sebagai berikut:

  1. Pembagian Harta Bersama Terlebih Dahulu: Sebelum menentukan bagian warisan, harus dipastikan terlebih dahulu pembagian harta bersama antara almarhum/almarhumah dengan pasangannya yang masih hidup. Umumnya, harta bersama dibagi dua, masing-masing mendapatkan setengah bagian. Bagian milik pasangan yang masih hidup menjadi hak penuhnya, sedangkan bagian milik almarhum/almarhumah lah yang menjadi harta warisan.
  2. Penentuan Ahli Waris: Setelah diketahui harta peninggalan pewaris, barulah ditentukan siapa saja ahli waris yang berhak menerima warisan sesuai dengan Pasal 174 KHI dan tidak ada penghalang waris berdasarkan Pasal 173 KHI.
  3. Perhitungan Bagian Masing-Masing Ahli Waris: Pembagian warisan kemudian dilakukan berdasarkan ketentuan faraid (ilmu waris dalam Islam) sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan syariat, yang juga diadopsi dalam KHI.
  4. Eksekusi Pembagian (Misalnya Penjualan atau Hibah): Jika rumah tidak dapat dibagi secara fisik atau jika ahli waris sepakat, rumah dapat dijual dan hasilnya dibagi sesuai porsi masing-masing, atau salah satu ahli waris dapat membeli bagian ahli waris lainnya. Alternatif lain adalah kesepakatan antar ahli waris untuk menghibahkan bagian tertentu, namun hibah hanya berlaku jika pewaris masih hidup. Jika sudah meninggal, maka itu adalah warisan.

Penting untuk diingat bahwa proses waris baru terjadi setelah pewaris meninggal dunia. Pemberian harta saat pewaris masih hidup dapat dilakukan melalui hibah, di mana terjadi perpindahan hak milik saat hibah diberikan, bukan setelah meninggal dunia.

Kesimpulan

Hukum warisan rumah dalam Islam di Indonesia mempertimbangkan dua aspek utama: ketentuan warisan Islam sesuai KHI dan pengakuan terhadap harta bersama. Sebuah rumah yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama dan harus dibagi terlebih dahulu antara suami dan istri sebelum sisa bagian pewaris menjadi objek warisan. Ahli waris yang berhak menerima warisan diatur secara spesifik dalam KHI, dengan adanya penghalang waris bagi mereka yang melakukan tindakan kejahatan terhadap pewaris. Memahami prosedur ini penting untuk memastikan pembagian warisan yang adil dan sesuai dengan ketentuan syariat serta hukum positif yang berlaku di Indonesia.


SUMBER:

  • Justika.com - "Macam-Macam Pembagian Ahli Waris Sesuai Hukum". Diakses dari [justika]
  • Hukumonline.com - "Mengenal Harta Bersama dalam Islam". Diakses dari [hukumonline]
  • Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  • Peraturan Perundang-undangan: Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)