Penggelapan uang adalah tindak pidana yang sering terjadi dalam berbagai konteks, baik perorangan maupun dalam lingkup korporasi. Kasus ini umumnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan memiliki konsekuensi hukum serius bagi pelakunya. Artikel ini akan menguraikan definisi penggelapan menurut KUHP, perbedaan antara hukum pidana dan perdata dalam konteks penggelapan, serta implikasi dari jenis delik (biasa atau aduan) terhadap proses hukum.
Penggelapan diatur secara spesifik dalam KUHP. Menurut Justika.com, acuan utama untuk kasus penggelapan uang adalah Pasal 372 KUHP (Justika.com - "Penyelesaian Kasus Hukum Perdata Penggelapan Uang"). Pasal ini menjadi dasar hukum umum untuk tindak pidana penggelapan.
"Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah."
Penggelapan terjadi ketika seseorang menguasai suatu barang (termasuk uang) secara sah, namun kemudian dengan sengaja mengubah kepemilikan atas barang tersebut seolah-olah miliknya sendiri, padahal barang itu milik orang lain.
KUHP juga mengatur bentuk penggelapan yang lebih spesifik, terutama jika dilakukan dalam hubungan kerja atau jabatan. Pasal 374 KUHP menguraikan penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang karena hubungan kerja atau jabatan. Justika.com juga menyebutkan pasal ini dalam konteks penggelapan yang tidak dapat dihentikan proses hukumnya meskipun ada perdamaian (Justika.com - "Penyelesaian Kasus Hukum Perdata Penggelapan Uang").
Pasal 374 KUHP menyatakan bahwa:
"Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu karena hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun."
Pasal ini memberikan pemberatan pidana karena adanya unsur penyalahgunaan kepercayaan atau jabatan.
Kasus penggelapan uang pada dasarnya masuk dalam ranah hukum pidana karena merupakan tindakan kriminalitas yang diatur dalam KUHP. Namun, seringkali muncul kebingungan apakah sebuah kasus pidana penggelapan uang dapat diselesaikan secara perdata, terutama jika ada unsur hutang piutang.
Menurut Justika.com, hukum pidana mengatur norma tentang keharusan dan larangan yang berhubungan dengan hukuman dan kepentingan umum, sedangkan hukum perdata merupakan hukum privat materiil yang mengatur kepentingan perseorangan (Justika.com - "Penyelesaian Kasus Hukum Perdata Penggelapan Uang").
Meskipun penggelapan adalah tindak pidana, dalam praktiknya, ada upaya untuk menyelesaikan permasalahan kerugian finansial yang ditimbulkan melalui jalur perdata. Namun, penting untuk dicatat bahwa:
"Sebuah tindakan pidana penggelapan yang sudah diatur dalam KUHP Pasal 374 merupakan jenis delik biasa yang proses hukumnya tidak dapat dihentikan, meskipun nantinya pihak yang terlibat dalam kasus itu sudah melakukan damai namun kasus tersebut tetap masuk dalam persidangan sehingga tindakan pidananya tidak dapat dihapuskan." (Justika.com - "Penyelesaian Kasus Hukum Perdata Penggelapan Uang")
Ini berarti, meskipun pihak yang terlibat mencapai kesepakatan damai terkait pengembalian kerugian (perdata), proses pidana untuk penggelapan Pasal 374 KUHP tetap dapat berlanjut karena merupakan delik biasa.
Dalam hukum pidana, dikenal dua jenis delik yang mempengaruhi proses penegakan hukum: delik biasa dan delik aduan.
Klasifikasi ini sangat penting dalam menentukan solusi kasus penggelapan. Jika penggelapan tergolong delik biasa, penyelesaian secara kekeluargaan atau perdamaian tidak serta merta menghapuskan proses pidananya.
Penanganan kasus penggelapan uang dapat melibatkan beberapa langkah hukum, tergantung pada sifat kasus dan keinginan korban:
Penggelapan uang merupakan tindak pidana serius yang diatur dalam KUHP, khususnya Pasal 372 dan Pasal 374. Pemahaman tentang perbedaan delik biasa dan delik aduan sangat krusial karena mempengaruhi kelanjutan proses hukum, bahkan jika telah terjadi perdamaian di antara para pihak. Meskipun kasus penggelapan umumnya masuk ranah pidana, upaya untuk memulihkan kerugian finansial melalui jalur perdata atau restitusi dalam proses pidana tetap terbuka. Memahami dasar hukum dan jenis delik akan membantu dalam menentukan strategi penanganan kasus penggelapan yang paling tepat.
SUMBER: