Harta Bersama dalam Perkawinan: Dasar Hukum Menurut UU Perkawinan

July 24, 2025
July 24, 2025
Alpha

Harta Bersama dalam Perkawinan: Dasar Hukum Menurut Undang-Undang Perkawinan

Perkawinan dalam hukum Indonesia tidak hanya menyatukan dua individu secara batin, tetapi juga memiliki implikasi hukum yang signifikan terhadap harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan. Konsep "harta bersama" menjadi salah satu aspek krusial yang perlu dipahami oleh setiap pasangan yang akan atau telah menikah. Artikel ini akan mengulas dasar hukum harta bersama menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan"), serta membahas harta pribadi dan peran perjanjian perkawinan.

Dasar Hukum Harta Bersama dalam Perkawinan

Dalam sistem hukum Indonesia, harta yang diperoleh selama masa perkawinan secara umum dikategorikan sebagai harta bersama. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyatakan:

"Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama."

Berdasarkan penafsiran Hukumonline.com, ketentuan ini mencakup berbagai jenis aset yang diperoleh oleh suami dan istri selama masa perkawinan, seperti gaji, penghasilan, properti, dan investasi yang merupakan hasil dari pendapatan tersebut. Segala pendapatan dan aset yang dibeli dengan pendapatan tersebut dianggap sebagai harta bersama dan akan dibagi antara suami dan istri jika perkawinan berakhir, baik karena perceraian maupun kematian (Hukumonline.com - "Apakah Hadiah Perkawinan Termasuk Harta Bersama?").

Lebih lanjut, mengenai pengelolaan harta bersama, Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan mengatur bahwa:

"Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak."

Ini menegaskan prinsip bahwa setiap tindakan hukum terhadap harta bersama, seperti penjualan atau pengalihan, memerlukan persetujuan dari kedua belah pihak, yaitu suami dan istri.

Harta Pribadi dan Perjanjian Perkawinan

Meskipun prinsip harta bersama menjadi dasar, tidak semua harta yang dimiliki setelah menikah otomatis menjadi harta bersama. Undang-Undang Perkawinan juga mengakui adanya harta pribadi. Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan menjelaskan bahwa:

"Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain."

Berdasarkan ketentuan ini, harta yang dibawa oleh masing-masing pasangan sebelum perkawinan (harta bawaan) serta harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan selama perkawinan, tetap menjadi harta pribadi penerima. Artinya, harta tersebut tidak termasuk dalam kategori harta bersama, kecuali ada kesepakatan tertulis dari pasangan suami dan istri untuk menjadikannya harta bersama (Hukumonline.com - "Apakah Hadiah Perkawinan Termasuk Harta Bersama?").

Perjanjian Perkawinan (Prenuptial dan Postnuptial Agreement)

Untuk mengatur status harta perkawinan secara berbeda dari ketentuan undang-undang, pasangan dapat membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian ini, yang dikenal juga sebagai perjanjian pranikah (prenuptial agreement) atau perjanjian pascanikah (postnuptial agreement), memungkinkan pasangan untuk menentukan bagaimana harta akan dikelola selama perkawinan dan bagaimana pembagiannya jika perkawinan berakhir.

Awalnya, Pasal 29 UU Perkawinan mengatur bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Namun, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, ketentuan ini diperluas. Hukumonline.com menjelaskan bahwa Putusan MK tersebut mengubah Pasal 29 UU Perkawinan, sehingga memungkinkan perjanjian perkawinan dibuat:

"Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut." (Hukumonline.com - "Permasalahan Perkawinan Campuran dan Harta Bersama")

Perjanjian ini harus dibuat dalam bentuk akta notaris dan dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis Instansi Pelaksana untuk dicatat. Dengan adanya perjanjian perkawinan, pasangan dapat secara spesifik mengatur pemisahan harta, termasuk harta bawaan, harta yang diperoleh dari usaha masing-masing, hibah, warisan, dan utang, sehingga tidak terjadi percampuran harta yang otomatis menjadi harta bersama (Hukumonline.com - "Permasalahan Perkawinan Campuran dan Harta Bersama").

Perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan (postnuptial agreement) juga dimungkinkan, selama pasangan masih terikat dalam perkawinan yang sah dan kesepakatan dibuat tanpa paksaan (Hukumonline.com - "Apakah Hadiah Perkawinan Termasuk Harta Bersama?").

Kesimpulan

Konsep harta bersama dalam perkawinan di Indonesia diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Harta yang diperoleh selama perkawinan secara default menjadi harta bersama yang pengelolaannya memerlukan persetujuan kedua belah pihak. Namun, hukum juga mengakui harta pribadi yang meliputi harta bawaan dan harta yang diperoleh dari hadiah atau warisan. Untuk mengatur kepemilikan harta secara berbeda, pasangan memiliki opsi untuk membuat perjanjian perkawinan, baik sebelum maupun selama perkawinan berlangsung, yang harus disahkan oleh notaris. Pemahaman yang komprehensif tentang ketentuan ini penting bagi setiap pasangan untuk mengelola aset dan hak-hak mereka secara bijak.


SUMBER:

  • Hukumonline.com - "Permasalahan Perkawinan Campuran dan Harta Bersama". Diakses dari [hukumonline]
  • Hukumonline.com - "Apakah Hadiah Perkawinan Termasuk Harta Bersama?". Diakses dari [hukumonline]
  • Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  • Putusan: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015