Sita jaminan, atau dalam istilah hukum dikenal sebagai Conservatoir Beslag, merupakan salah satu instrumen hukum yang krusial dalam upaya melindungi aset atau harta benda dari tindakan penggelapan atau pengasingan oleh pihak tergugat selama proses persidangan berlangsung. Dalam konteks perkawinan, khususnya saat terjadi perselisihan terkait pembagian harta bersama, sita jaminan ini dikenal dengan istilah sita marital. Artikel ini akan mengulas dasar hukum sita jaminan harta bersama di Indonesia, baik secara umum maupun khusus dalam ranah hukum perkawinan Islam.
Secara umum, sita jaminan diatur dalam Pasal 227 ayat (1) Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR), yang menyatakan:
"Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan, pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya."
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya "Hukum Acara Perdata", tujuan utama sita jaminan adalah agar barang yang menjadi objek sengketa tidak digelapkan atau diasingkan oleh tergugat selama proses persidangan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pada saat putusan pengadilan dilaksanakan, kewajiban pembayaran utang atau pemenuhan tuntutan penggugat dapat terpenuhi melalui penjualan barang sitaan tersebut. Dengan demikian, sita jaminan berfungsi mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta yang menjadi objek sengketa dari tindakan yang tidak bertanggung jawab oleh tergugat (Hukumonline.com - "Tentang Sita Marital (Sita Harta Bersama)").
Dalam konteks perceraian, khususnya bagi pasangan beragama Islam, sita jaminan terhadap harta bersama dikenal dengan istilah sita marital. Dasar hukum sita marital ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ("UU Peradilan Agama") dan Kompilasi Hukum Islam ("KHI").
Sita marital dapat diajukan dalam dua kondisi utama:
Selama Berlangsungnya Gugatan Perceraian: Pasal 78 huruf c UU Peradilan Agama dan Pasal 136 ayat (2) KHI mengatur hal ini.
"Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atau permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat: menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri." (Pasal 136 ayat (2) KHI).
Tanpa Adanya Permohonan Gugatan Cerai: Pasal 95 KHI memungkinkan suami atau istri untuk meminta Pengadilan Agama meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai, apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama, seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
"Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2), huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 serta pasal 136 ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya." (Pasal 95 ayat (1) KHI).
Penerapan Pasal 95 KHI ini sempat menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 549/Pdt/G/2007/PA.JP, M. Yahya Harahap sebagai ahli menyatakan bahwa seorang istri dapat mengajukan permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya sengketa/perkara perceraian. Pendapat ini bertolak belakang dengan ahli lainnya, Bernadette M. Waluyo, yang berpendapat bahwa permohonan sita jaminan tidak dapat diajukan berdiri sendiri karena sifatnya yang asesoris terhadap gugatan pokok. Namun, pada perkara tersebut, pengadilan akhirnya mengabulkan permohonan sita marital yang diajukan tanpa disertai gugatan perceraian, menguatkan keterangan ahli Yahya Harahap (Hukumonline.com - "Tentang Sita Marital (Sita Harta Bersama)").
Penting untuk dicatat, sita marital tidak dapat digunakan untuk membagi harta bersama jika pengadilan telah mengabulkan gugatan perceraian. Dalam kondisi tersebut, pembagian harta bersama hanya dapat dilakukan melalui gugatan perdata terpisah mengenai pembagian harta bersama (Hukumonline.com - "Tentang Sita Marital (Sita Harta Bersama)").
Apabila suatu barang telah diletakkan sita jaminan, hak pemilik atas benda tersebut menjadi hilang sementara, dan pemilik dipaksa untuk tidak mengalihkan atau menjual benda tersebut. Jika pemilik barang tetap mengalihkan atau menjual barang yang telah diletakkan sita jaminan, perbuatan tersebut dapat memiliki konsekuensi hukum.
Meskipun barang yang disita jaminan telah dialihkan atau dijual, kewajiban tergugat untuk melunasi utang kepada pemohon sita tidak serta merta hilang. Hal ini karena utang tersebut belum dilunasi, dan tergugat harus bertanggung jawab atas seluruh harta pribadinya terhadap perikatan yang telah ia buat. Prinsip ini sesuai dengan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata") yang menyatakan:
"Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan."
Dengan demikian, tanggung jawab pelunasan utang tetap melekat pada debitur, bahkan jika barang yang disita telah dialihkan (Hukumonline.com - "Sita Jaminan").
Sita jaminan harta bersama di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat dan berfungsi sebagai alat perlindungan hukum untuk mengamankan aset dari tindakan penggelapan selama proses hukum berlangsung. Dalam konteks perceraian, sita marital diatur secara spesifik dalam UU Peradilan Agama dan KHI, memungkinkan dilakukannya penyitaan harta bersama baik selama proses perceraian maupun dalam kondisi tertentu bahkan sebelum gugatan cerai diajukan. Penting bagi setiap pihak yang terlibat dalam sengketa harta bersama untuk memahami mekanisme dan dasar hukum sita jaminan ini guna melindungi hak-hak mereka.
SUMBER: