Tindak pidana penganiayaan merupakan salah satu jenis kejahatan yang sering terjadi dalam masyarakat. Dalam hukum pidana Indonesia, penganiayaan dikategorikan menjadi beberapa jenis, termasuk penganiayaan ringan dan penganiayaan berat, dengan konsekuensi hukum yang berbeda. Artikel ini akan mengulas perbedaan, dasar hukum, serta contoh-contoh yang relevan untuk memahami kedua kategori penganiayaan ini.
Penganiayaan ringan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dicirikan oleh akibat yang ditimbulkannya, yaitu tidak menyebabkan penyakit atau halangan bagi korban untuk menjalankan pekerjaan, jabatan, atau pencarian.
Menurut Pasal 352 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa:
"Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Ancaman pidana denda yang disebutkan dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP ini telah disesuaikan menjadi paling banyak Rp4,5 juta berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 246) menjelaskan bahwa penganiayaan ringan adalah kejahatan ringan yang tidak mengakibatkan korban jatuh sakit (ziek) atau terhalang melakukan pekerjaan sehari-hari.
Contoh dari penganiayaan ringan adalah:
Berbeda dengan penganiayaan ringan, penganiayaan berat memiliki konsekuensi yang lebih serius terhadap kondisi fisik korban. Niat pelaku untuk melukai berat korban menjadi kunci pembedaan.
Penganiayaan berat diatur dalam Pasal 354 KUHP, yang menyatakan:
"1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. 2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian. yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun."
R. Soesilo menjelaskan bahwa agar dapat dikenakan Pasal 354 KUHP, niat pelaku harus ditujukan pada melukai berat. Jika luka berat hanya merupakan akibat tanpa ada niat untuk melukai berat, maka perbuatan tersebut termasuk penganiayaan biasa yang berakibat luka berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP.
Definisi "luka berat" dalam konteks hukum pidana, meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam KUHP secara langsung, dapat merujuk pada ketentuan lain yang relevan, seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 229 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), yang meliputi:
Contoh dari penganiayaan yang dapat dikategorikan sebagai penganiayaan berat adalah:
Penting juga untuk memahami kategori penganiayaan "biasa" yang diatur dalam Pasal 351 KUHP, yang merupakan payung hukum umum untuk tindak pidana penganiayaan sebelum dibedakan menjadi ringan atau berat berdasarkan akibat dan niat.
Pasal 351 ayat (1) KUHP menyebutkan:
"Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Menurut R. Soesilo, penganiayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak/penderitaan, rasa sakit, atau luka. Contohnya meliputi mendorong orang hingga basah kuyup (perasaan tidak enak), menyubit atau memukul (rasa sakit), serta mengiris atau menusuk dengan pisau (luka).
Perbedaan antara penganiayaan ringan dan berat terletak pada niat pelaku dan akibat yang ditimbulkan terhadap korban. Penganiayaan ringan tidak menyebabkan penyakit atau halangan pekerjaan, sementara penganiayaan berat mengakibatkan luka serius atau kondisi yang mengancam jiwa atau kemampuan fungsional korban, seringkali dengan niat yang jelas untuk melukai berat. Pemahaman yang mendalam terhadap ketentuan dalam KUHP dan interpretasinya sangat penting dalam penegakan hukum tindak pidana penganiayaan.
SUMBER: