Dalam hukum pidana Indonesia, dikenal berbagai jenis delik atau tindak pidana yang diklasifikasikan berdasarkan karakteristik unsurnya. Salah satu klasifikasi penting adalah delik materil (delik akibat) dan delik formil (delik perbuatan). Memahami perbedaan keduanya sangat penting dalam penegakan hukum pidana, terutama dalam menentukan apakah suatu perbuatan telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
Artikel ini akan menguraikan konsep delik materil dalam hukum pidana Indonesia, dasar hukumnya, serta memberikan contoh konkret tindak pidana yang termasuk dalam kategori delik materil.
Dalam ilmu hukum pidana, delik dapat diklasifikasikan berdasarkan penekanan pada unsurnya:
Contoh umum dari delik materil adalah tindak pidana pembunuhan, di mana akibat "matinya orang" harus terjadi agar delik pembunuhan sempurna. Sementara itu, contoh delik formil adalah tindak pidana perzinahan, di mana perbuatan itu sendiri (persetubuhan di luar perkawinan) sudah cukup untuk memenuhi unsur delik, tanpa harus melihat akibatnya.
Dalam hukum pidana, suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi seluruh unsur yang dirumuskan dalam undang-undang. Eddy O.S. Hiariej dalam karyanya "Prinsip-Prinsip Hukum Pidana" menjelaskan bahwa jika salah satu unsur delik tidak terpenuhi, maka seseorang tidak dapat dikatakan telah melakukan suatu perbuatan pidana.
Unsur delik ini terbagi menjadi bestandeel (unsur yang secara eksplisit tertuang dalam rumusan delik) dan element (unsur yang tertulis maupun tidak tertulis). Dalam doktrin hukum pidana, yang wajib dibuktikan hanyalah unsur yang tertulis (bestandeel).
"Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya." (Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana)
Ketentuan serupa juga berlaku bagi penuntut umum dalam penghentian penuntutan. Hal ini menegaskan bahwa jika suatu perbuatan tidak memenuhi unsur delik, maka proses penanganan perkara harus dihentikan.
Salah satu contoh paling relevan dari delik materil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah tindak pidana pencurian, sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP. Pasal ini dirumuskan sebagai berikut:
"Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah." (Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Mari kita bedah unsur-unsur dalam Pasal 362 KUHP untuk memahami mengapa pencurian termasuk delik materil, dengan merujuk pada analisis dari Hukumonline.com:
Hukumonline.com memberikan ilustrasi yang sangat baik mengenai pentingnya terpenuhinya semua unsur dalam delik materil, khususnya pada tindak pidana pencurian. Bayangkan sebuah rumah terbakar akibat hubungan arus pendek, dan beberapa orang menghancurkan pintu dan jendela untuk mengambil barang-barang di dalamnya dengan maksud agar barang-barang tersebut tidak ikut terbakar.
Jika dianalisis berdasarkan unsur-unsur Pasal 362 KUHP:
Kesimpulannya, meskipun perbuatan mengambil barang dan merusak properti terjadi, perbuatan beberapa orang tersebut tidak dapat dikatakan telah melakukan pencurian karena unsur "dengan maksud dimiliki" tidak terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam delik materil, akibat yang dituju atau niat terhadap akibat adalah esensial untuk terpenuhinya delik. Tanpa niat untuk memiliki, meskipun ada perbuatan mengambil, delik pencurian tidak sempurna.
Pentingnya pemahaman delik materil adalah bahwa penuntut umum harus membuktikan tidak hanya perbuatan pelaku, tetapi juga akibat yang ditimbulkan atau tujuan dari perbuatan tersebut sesuai dengan rumusan pasal. Jika akibat yang disyaratkan oleh undang-undang tidak terjadi atau niat terhadap akibat tidak terbukti, maka tindak pidana materil tidak dapat dipersangkakan atau dibuktikan secara sah.
Hal ini berbeda dengan delik formil, di mana pembuktian hanya terfokus pada terpenuhinya perbuatan yang dilarang, tanpa perlu membuktikan akibatnya.
Delik materil adalah jenis tindak pidana yang menekankan pada akibat dari suatu perbuatan sebagai syarat mutlak terpenuhinya delik. Contoh paling gamblang adalah tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP), di mana niat untuk memiliki barang secara melawan hukum merupakan unsur esensial yang harus terbukti. Apabila unsur niat atau akibat yang disyaratkan tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana materil, meskipun ada tindakan fisik yang terkait. Pemahaman ini krusial bagi aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penuntutan, serta bagi masyarakat untuk memahami ruang lingkup pertanggungjawaban pidana.
SUMBER: