Sengketa hutang piutang merupakan salah satu permasalahan hukum yang sering terjadi di masyarakat, baik antara individu maupun entitas bisnis. Kompleksitas kasus hutang piutang seringkali memerlukan pendampingan hukum untuk mencapai penyelesaian yang adil dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artikel ini akan membahas peran pengacara dalam sengketa hutang piutang, prosedur hukum yang dapat ditempuh, serta hak-hak para pihak yang terlibat.
Seorang pengacara memiliki peran krusial dalam membantu klien, baik sebagai kreditur (pemberi pinjaman) maupun debitur (penerima pinjaman), untuk menyelesaikan sengketa hutang piutang. Peran ini mencakup:
Perselisihan hutang piutang umumnya bermula dari wanprestasi, yaitu tidak dipenuhinya kewajiban oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Menurut Hukumonline.com, jika debitur tidak memiliki itikad baik untuk melunasi utangnya, kreditur dapat mengajukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (Hukumonline.com - "Hutang Piutang").
Gugatan wanprestasi diajukan apabila debitur tidak memenuhi janjinya dalam perjanjian hutang piutang. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan:
"Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan."
Kreditur harus dapat membuktikan adanya perjanjian (baik lisan maupun tertulis) dan adanya isi perjanjian yang dilanggar oleh debitur. Bukti yang dapat disiapkan antara lain bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah (Hukumonline.com - "Hutang Piutang").
Selain wanprestasi, gugatan juga dapat diajukan atas dasar perbuatan melawan hukum jika perbuatan debitur tidak sesuai dengan kaidah hukum, sopan santun, atau kesusilaan, dan menimbulkan kerugian bagi kreditur.
Langkah awal penyelesaian sengketa hutang piutang seringkali dimulai dengan upaya non-litigasi:
Jika upaya non-litigasi tidak berhasil, kreditur dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan:
Meskipun debitur memiliki kewajiban untuk melunasi hutangnya, penagihan yang dilakukan oleh debt collector harus sesuai dengan koridor hukum. Menurut advokat Alexander Lay dari PBH Peradi, debt collector yang mendapat kuasa menagih utang dari kreditur tidak boleh menyita paksa barang-barang milik debitur. Penyitaan barang-barang hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan (Hukumonline.com - "Hutang Piutang").
Jika debt collector melakukan penyitaan atau pengambilan barang secara paksa dan melawan hukum, debitur atau keluarganya dapat melaporkan debt collector tersebut ke polisi. Perbuatan tersebut dapat dijerat dengan:
"Barang siapa mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah." (Meskipun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 telah menyesuaikan batasan nilai kerugian untuk tindak pidana ringan, prinsip dasar pasal ini tetap berlaku untuk tindak pidana pencurian).
"Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu, atau dalam hal tertangkap tangan, supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri maupun bagi teman-temannya untuk melarikan diri, atau supaya barang yang dicuri tetap ada di tangannya." (Pasal ini mengatur tentang pencurian dengan kekerasan).
Selain itu, barang-barang di dalam rumah bisa jadi merupakan harta bersama dalam perkawinan, kecuali ada perjanjian kawin pisah harta, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Hukumonline.com - "Hutang Piutang").
Dalam setiap sengketa hutang piutang, baik bagi kreditur maupun debitur, penting untuk memiliki bukti yang kuat. Bukti tertulis seperti perjanjian pinjaman, catatan transfer bank, atau surat pernyataan pengakuan hutang sangat krusial. Dalam kasus di mana perjanjian dilakukan secara lisan, bukti lain seperti saksi yang mengetahui transaksi atau pengakuan dari pihak lain dapat menjadi penunjang.
Sengketa hutang piutang adalah masalah hukum yang serius dan seringkali rumit. Memahami dasar hukum serta prosedur penyelesaiannya adalah kunci. Peran pengacara menjadi sangat vital dalam menavigasi proses hukum, baik melalui jalur negosiasi, mediasi, maupun litigasi di pengadilan. Penting bagi kedua belah pihak, baik kreditur maupun debitur, untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka, serta batasan-batasan hukum yang berlaku, terutama terkait dengan praktik penagihan hutang yang sah. Dengan bantuan profesional hukum dan bukti yang kuat, penyelesaian sengketa hutang piutang dapat dicapai secara adil dan sesuai hukum.
SUMBER: