Dalam ranah hukum perkawinan di Indonesia, istilah "harta gono gini" sering kali menjadi perbincangan, terutama saat terjadi perceraian. Meskipun dikenal luas di masyarakat, istilah hukum yang tepat untuk harta ini adalah "harta bersama". Artikel ini akan membahas secara komprehensif mengenai definisi harta bersama, jenis-jenis harta dalam perkawinan, prosedur pembagiannya setelah perceraian, serta upaya hukum terkait pembagian harta tersebut berdasarkan hukum perdata di Indonesia.
Istilah "harta gono gini" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri. Namun, dalam konteks hukum, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") tidak mengenal istilah "harta gono gini", melainkan menggunakan frasa "harta bersama".
"Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama." (Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, sebagaimana dikutip dari Hukumonline.com - "Harta Gono-Gini Setelah Perceraian")
UU Perkawinan membedakan dua jenis harta dalam perkawinan:
Konsep ini ditegaskan kembali dalam Pasal 128 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang keduanya pada intinya menyatakan bahwa harta bersama akan dibagi dua sama rata jika terjadi perceraian, kecuali jika ada perjanjian perkawinan yang mengatur sebaliknya (Hukumonline.com - "Pembagian Harta Gono Gini").
Ketika terjadi perceraian dan tidak ada perjanjian perkawinan (pisah harta), harta bersama wajib dibagi antara suami dan istri.
"Sejak berlakunya UU Perkawinan tentang perkawinan sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian, harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara mantan suami istri." (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1448K/Sip/1974, sebagaimana dikutip dari Hukumonline.com - "Harta Gono-Gini Setelah Perceraian")
Prosedur pembagian harta bersama dapat dilakukan dengan dua cara:
Pembagian harta bersama ini tidak hanya mencakup aset, tetapi juga utang-piutang yang timbul selama perkawinan.
Apabila putusan pengadilan telah menetapkan pembagian harta bersama, termasuk kepemilikan aset seperti tanah, maka putusan tersebut harus dilaksanakan. Dalam kasus tanah yang semula atas nama salah satu pihak (misalnya suami), maka perlu dilakukan proses balik nama sertifikat tanah ke nama pihak yang berhak (misalnya istri) berdasarkan putusan pengadilan.
Menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ("PP 24/1997"), peralihan hak atas tanah umumnya dilakukan melalui akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti jual beli, tukar menukar, atau hibah. Namun, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap termasuk kategori surat atau akta autentik yang dapat menjadi dasar langsung untuk proses balik nama sertifikat tanah tanpa perlu pembuatan akta notaris atau Akta Jual Beli (AJB) terlebih dahulu (Hukumonline.com - "Ketentuan Balik Nama atas Tanah Harta Gono-Gini").
"Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan." (Pasal 37 ayat (2) PP 24/1997, sebagaimana dikutip dari Hukumonline.com - "Ketentuan Balik Nama atas Tanah Harta Gono-Gini")
Putusan pengadilan yang telah inkracht dianggap memiliki kadar kebenaran yang cukup untuk menjadi dasar pendaftaran pemindahan hak.
Harta bersama, atau yang populer disebut harta gono gini, adalah harta yang diperoleh selama perkawinan dan wajib dibagi rata antara suami dan istri setelah perceraian, kecuali ada perjanjian perkawinan. Pembagian ini dapat dituntut bersamaan dengan gugatan cerai atau melalui gugatan terpisah. Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menjadi dasar yang sah untuk pembagian dan pengalihan hak atas aset, termasuk proses balik nama sertifikat tanah. Memahami dasar hukum dan prosedur ini sangat penting bagi individu yang menghadapi persoalan pembagian harta dalam perkawinan untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi.
SUMBER: