Meskipun istilah "Devil's Advocate" bukanlah terminologi hukum formal dalam sistem perundang-undangan Indonesia, konsep yang diwakilinya sangat relevan dan sering diterapkan dalam praktik argumentasi hukum. "Devil's Advocate" merujuk pada seseorang atau pendekatan yang mengambil posisi berlawanan dengan pandangan yang diterima atau dominan, bukan karena ketidaksetujuan pribadi, melainkan untuk tujuan pengujian, analisis kritis, dan identifikasi potensi kelemahan dalam suatu argumen.
Secara umum, "Devil's Advocate" (Advokat Iblis) adalah seseorang yang secara sengaja mengemukakan argumen tandingan atau keberatan terhadap suatu usulan atau gagasan, meskipun ia mungkin setuju dengan gagasan tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk menguji kekuatan argumen asli, mencari kelemahan, dan mengantisipasi kontra-argumen yang mungkin muncul. Ini adalah alat berpikir kritis yang bertujuan untuk memperkuat suatu posisi dengan mengekspos dan mengatasi potensi kerentanan sebelum argumen tersebut diajukan dalam forum yang lebih luas.
Dalam konteks non-hukum, istilah ini berasal dari praktik Gereja Katolik Roma, di mana seorang "promotor fidei" (promotor iman), yang sering disebut "advokat iblis", akan menantang klaim mukjizat atau kebajikan calon santo untuk memastikan bahwa proses kanonisasi dilakukan secara menyeluruh dan tanpa keraguan.
Dalam argumentasi hukum, peran "Devil's Advocate" sangat krusial, meskipun tidak ada jabatan resmi dengan nama tersebut. Para praktisi hukum, seperti jaksa, pengacara, dan hakim, secara inheren harus mengadopsi pola pikir ini untuk memastikan kelengkapan dan ketahanan argumen mereka. Peran ini mencakup:
Seorang praktisi hukum yang berperan sebagai "Devil's Advocate" akan secara proaktif mencari celah, inkonsistensi, atau kelemahan dalam argumen yang akan diajukan. Ini termasuk mempertanyakan validitas bukti, menantang interpretasi hukum, atau mencari preseden yang mungkin bertentangan.
Dalam konteks perencanaan dan analisis suatu kebijakan atau strategi, misalnya, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Penataan Organisasi Kejaksaan Republik Indonesia dalam lampiran "Studi Kelayakan" mengatur tentang identifikasi "Faktor Kelemahan" dan "Faktor Tantangan dan Ancaman". Pendekatan ini mencerminkan kebutuhan untuk secara kritis menguji suatu rencana atau argumen dari sisi yang berlawanan.
Dengan memahami potensi serangan terhadap argumen, seorang praktisi hukum dapat mempersiapkan bantahan yang kuat atau bahkan memodifikasi argumen awal mereka untuk mengatasi keberatan yang mungkin timbul dari pihak lawan. Ini penting dalam persidangan di mana keberhasilan seringkali bergantung pada kemampuan untuk merespons argumen lawan secara efektif.
Melalui proses pengujian yang ketat ini, dasar hukum suatu argumen dapat diperkuat. Setiap klaim atau pernyataan hukum diuji terhadap skenario terburuk, memastikan bahwa fondasinya kokoh dan didukung oleh peraturan perundang-undangan serta yurisprudensi yang relevan.
Proses ini mirip dengan "Uji Kelayakan dan Kepatutan" yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Uji Kelayakan dan Kepatutan Bidang Teknis dan Operasional bagi Direksi dan Dewan Pengawas Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Jasa Keuangan. Meskipun berbeda konteks, prinsip di baliknya adalah melakukan evaluasi menyeluruh untuk menemukan potensi masalah dan memastikan kesiapan.
Mengadopsi pola pikir "Devil's Advocate" membantu mengurangi bias konfirmasi, yaitu kecenderungan untuk hanya mencari informasi yang mendukung pandangan sendiri. Ini mendorong analisis yang lebih objektif dan komprehensif terhadap suatu kasus.
Dalam dunia hukum yang kompetitif dan adversarial, kemampuan untuk melihat suatu kasus dari berbagai sudut pandang adalah keterampilan yang tak ternilai. Baik dalam perumusan undang-undang, penyusunan strategi litigasi, maupun dalam pengambilan keputusan hakim, pendekatan "Devil's Advocate" memastikan bahwa semua aspek telah dipertimbangkan secara matang. Hal ini berkontribusi pada terciptanya keadilan yang lebih substantif dan putusan yang lebih adil dan akurat.
Profesional hukum yang mampu mengadopsi peran ini tidak hanya membela klien mereka dengan lebih baik tetapi juga memperkuat integritas sistem hukum secara keseluruhan dengan mendorong ketelitian, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap argumen yang diajukan.
Meskipun istilah "Devil's Advocate" tidak tercantum sebagai peran formal dalam kamus hukum Indonesia, esensi dan fungsinya merupakan bagian integral dari praktik hukum yang efektif. Ini adalah pola pikir kritis yang mendorong para profesional hukum untuk secara sistematis menguji kekuatan dan kelemahan argumen mereka sendiri dan pihak lawan, demi mencapai putusan atau solusi hukum yang paling kuat dan adil. Mengadopsi mentalitas "Devil's Advocate" adalah kunci untuk mengasah kemampuan berpikir analitis dan strategis, yang esensial dalam setiap aspek argumentasi hukum.
SUMBER: