Asas praduga tak bersalah adalah salah satu prinsip fundamental dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Asas ini menjamin bahwa setiap individu yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka pengadilan harus dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Prinsip ini merupakan pilar penting dalam penegakan hak asasi manusia dan keadilan.
Asas praduga tak bersalah ( presumption of innocence) memiliki landasan hukum yang kuat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah:
Prinsip ini secara eksplisit disebutkan dalam Penjelasan Umum KUHAP.
"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap." (Penjelasan Umum angka 3 huruf c KUHAP)
Undang-Undang ini juga menegaskan kembali asas praduga tak bersalah sebagai salah satu asas penting dalam kekuasaan kehakiman.
"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap." (Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman)
Dalam konteks hak asasi manusia, asas ini diakui sebagai hak setiap individu.
"Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan." (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, Hukumonline.com menjelaskan bahwa arti dari asas praduga tak bersalah adalah setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan (Hukumonline.com - "Arti Asas Praduga Tak Bersalah").
Asas praduga tak bersalah memiliki implikasi yang luas dalam praktik penegakan hukum dan kehidupan bermasyarakat, terutama dalam perlakuan terhadap tersangka atau terdakwa serta dalam pemberitaan di media massa.
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, penerapan asas praduga tak bersalah menempatkan tersangka pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat.
"Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat, dia harus dinilai sebagai subjek bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka melainkan perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan atau ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukannyalah pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap." (M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, hal. 34, dikutip dari Hukumonline.com - "Arti Asas Praduga Tak Bersalah")
Pernyataan ini menekankan bahwa fokus pemeriksaan adalah pada perbuatan pidana yang diduga dilakukan, bukan menghakimi pribadi tersangka sebelum adanya putusan berkekuatan hukum tetap.
Andi Hamzah, dalam artikelnya di Hukumonline.com, berpendapat bahwa asas presumption of innocent tidak bisa diartikan secara harfiah (letterlijk) (Hukumonline.com - "Asas Praduga Tak Bersalah Tidak Bisa Diartikan Secara Letterlijk"). Menurutnya, jika diartikan secara harfiah, tugas kepolisian tidak akan bisa berjalan. Andi Hamzah memandang bahwa presumption of innocent adalah jaminan hak-hak tersangka sebagai manusia, seperti hak untuk kawin dan cerai, atau hak untuk ikut pemilihan. Ini menunjukkan bahwa meskipun seseorang sedang dalam proses hukum, hak-hak dasarnya sebagai warga negara tetap harus dihormati.
Asas praduga tak bersalah juga wajib dihormati oleh pers nasional dalam memberitakan peristiwa dan opini. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ("UU Pers") dan Kode Etik Jurnalistik.
"Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah." (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers)
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Pers menyebutkan bahwa pers nasional dalam menyiarkan informasi tidak boleh menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terutama untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan. Selain itu, Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik menyatakan bahwa wartawan Indonesia wajib menerapkan asas praduga tak bersalah, yang ditafsirkan sebagai prinsip tidak menghakimi seseorang (Hukumonline.com - "Pemberitaan Pers dan Asas Praduga Tak Bersalah").
Perusahaan pers yang melanggar asas praduga tak bersalah dapat diancam pidana denda paling banyak Rp500 juta (Pasal 18 ayat (2) UU Pers). Pemberitaan dikatakan melanggar asas ini jika isinya menghakimi seseorang terlibat atau bersalah melakukan tindak pidana padahal belum terbukti melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers (Hukumonline.com - "Pemberitaan Pers dan Asas Praduga Tak Bersalah").
Asas praduga tak bersalah merupakan fondasi penting dalam sistem peradilan pidana yang adil dan beradab di Indonesia. Asas ini menjamin bahwa setiap individu memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah sampai ada pembuktian yang sah di pengadilan dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Penerapan asas ini tidak hanya terbatas pada proses peradilan, tetapi juga meluas ke berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pemberitaan oleh media massa, untuk melindungi hak-hak individu dan mencegah trial by the press. Memahami makna dan implikasi asas ini sangat krusial untuk menjaga integritas sistem hukum dan menegakkan keadilan bagi semua pihak.
SUMBER: